TENTANG TENGGAT

Tenggat, seringkali mampu bikin kita berkeringat.

Kadang, buat yang kurang sehat, mampu membuat berbagai penyakit kumat.
Paling tidak, mampu membuat kita merasa seperti dikejar-kejar penjahat.
Hidup kita jadi terasa luar biasa berat karena tenggat semakin hari semakin mendekat.
Kalau dalam urusan pekerjaan, tidak ada yang luar biasa dengan tenggat.
Pasti setiap hari kita menghadapi tenggat.

Pekerjaan inilah, proyek itulah, budget anu atau laporan tertentu, pasti kita menghadapinya.
Dan tidak ada yang luar biasa dari tenggat.

Kecuali kalau tenggat yang berhubungan dengan kehidupan, baru itu membuat kita selalu dihantui.

Kata seorang teman, tenggat dalam hidup bisa jadi penyemangat.
The power of deadline, begitu katanya, akan membuat kita berusaha sekian kali lebih keras untuk mencapai target yang sudah ditetapkan.
Makanya dia selalu punya tenggat dalam hidupnya. Bahkah urusan punya anak pun dia punyat tenggat.

Sungguh, temanku yang satu ini berhasil memiliki anak beberapa bulan sebelum tenggat yang sudah ditetapkannya bersama istri, datang.

Ajaib? Mungkin iya, tapi mungkin juga karena memang mereka berusaha keras untuk mendapatkannya, sampai Tuhan pun kasihan dan akhirnya memberikan apa yang mereka inginkan.
Padahal, menurutku, tenggat itu sesuatu yang memusingkan.

Apalagi kalau tenggat yang berkaitan dengan perjodohan.

Sudah lebih dari enam bulan sejak Ibuku tercinta memberikan aku tenggat.
Aku harus menikah secepatnya, kalau tidak aku akan dicabut dari daftar warisan.
Biarpun aku anak satu-satunya, Ibuku tidak peduli. Begitu katanya.
Coba, bagaimana caranya aku memenuhi tenggat yang diberikan oleh Ibu.
Urusan perkawinan kan bukan cuma aku sendiri yang terlibat, tapi ada pihak-pihak lain.
Pihak yang paling penting adalah, pasangan.
Memangnya ada yang mau untuk menikah secepat itu? Kan pacaran tidak bisa sebentar bukan?
Harus saling mengenal luar dalam, baru bisa memutuskan perkawinan.

Kalau pasangan setuju, bagaimana keluarganya?
Apakah mereka mau punya menantu aku?
Apakah mereka mau berbesan dengan Ibuku?

Lalu kalau orang tuanya setuju, bagaimana keluarga besarnya?
Apakah mereka menerima aku apa adanya?
Apakah mereka menerima pasanganku dengan tangan terbuka?

Belum lagi teman-teman.
Walaupun memang bukan urusan mereka, bukankah lebih menyenangkan kalau kita mempunyai pasangan yang bisa diterima dan bercengkrama dengan bahagia bersama teman-terman tercinta?

Banyak hal yang harus diselesaikan, mana bisa jodoh diberikan tenggat?

Segala alasan itu yang aku sampaikan di depan Ibu, ketika kami berdua menunggu kedatangan Natalie untuk makan malam bersama di rumah.
Natalie berjanji akan membawakan Moussaka buatannya yang amat sangat lezat itu.
Ibuku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar sejuta alasan yang aku sampaikan.

Lalu dengan suara teramat serius dia berkata, “Herlam, bagaimana kalau kamu diam, simpan semua alasan kamu yang tidak penting itu, tunggu Natalie datang dan kita makan malam. Ingat, kamu punya deadline, dan Ibu tidak mau tahu, kamu harus memenuhi deadline itu. Awal tahun 2008, Ibu sudah membuat janji dengan notaris untuk membuat ulang surat wasiat Ibu. Coba saja kalau kamu berani tidak memenuhi permintaan Ibu, lihat kalau nama kamu masih ada di daftar warisan! Yang pasti, Herlam anakku sayang, Bik Asih pembantu kita itu namanya akan tetap ada di sana.”

Dan aku duduk diam-diam, sambil pura-pura menonton TV. Ibuku galak sekali memang.
Apa yang bisa aku lakukan selain berpura-pura menonton TV dan merutuk dalam hati?

Untung saja, tidak lama bel rumah berbunyi, dan Natalie masuk sambil membawa satu nampan Pyrex yang ditutup dengan aluminium foil.
Bik Asih tergopoh-gopoh membantu Natalie meletakkan Moussaka panas.
Masakan ala Yunani dengan tumpukan terong, tomat, daging, keju, dan pasta itu terlihat nikmat.
Aku tahu pasti, masakan Natalie amat sangat lezat, tapi setelah kemarahan Ibu, tenggorokanku terasa kering.
Selera makanku hilang sudah.

Natalie yang manis disambut Ibu dengan gegap gempita.
Ah, Ibu mana yang tidak jatuh cinta pada Natalie?
Natalie yang jago masak.
Natalie yang kariernya bagus.
Natalie yang sikapnya begitu sopan dan manis.
Natalie yang punya table manner sempurna.
Natalie yang bisa bicara tentang tas-tas mahal tapi tahu kalau kita sebaiknya ke Cipadu untuk membeli bed cover.

Seperti biasa kalau kami makan malam bertiga, aku hanya jadi pendengar saja.
Ibu dan Natalie dengan ribut bercerita dan bercanda. Aku sesekali menimpali, tapi lebih banyak diam sambil mengaduk makanan. Mereka memang cocok sekali tampaknya.

“Nah, Natalie, Herlam, Ibu mau bicara,” begitu kata Ibu begitu dia selesai minum air putih selepas makan.

Nada suaranya serius sekali. Alamat yang sangat buruk buatku.

“Ada apa Tante? Serius sekali?” Natalie pun heran melihat sikap Ibu yang tadinya begitu riang, berubah menjadi serius.

“Tante mau tanya sesuatu sama kamu Nat, tolong jawab yang jujur ya…” kata Ibu lagi.

“Bu? Apaan sih? Serius sekali?” suaraku terdengar kurang meyakinkan, bahkan Natalie saja sampai menengok heran ke arahku.

“Herlam, kamu diam dulu. Natalie, Tante mau tanya, kamu sudah mengenalkan Herlam kepada teman-temanmu? Apakah mereka menyukai Herlam?”

“Oh, banyak teman-temanku yang juga teman Herlam tante, jadi rasanya mereka sih suka-suka saja dengan Herlam. Ada apa Tante, kalau aku boleh tahu?”

Ibu, tidak menjawab pertanyaan Natalie, malah bertanya sekali lagi, “Kalau ke keluargamu?”

Natalie jadi gelisah. Dia melirik ke arahku dengan penuh tanda tanya.
Aku, hanya bisa mengangkat bahu, tanda tidak mengerti dan menyuruhnya menjawab pertanyaan Ibu.

Natalie tidak langsung menjawab, dia memandang ke arah Ibu, wajahnya penuh dengan pertanyaan dan kebingungan.

Ibu tersenyum dan berkata, “Kamu jawab saja Natalie, Tante bukan mau memarahi kamu atau apa, cuma ingin tahu saja.”

Natalie menjawab ragu, “Dari dulu Herlam sebenarnya sudah kenal dengan keluarga besar Tampubolon Tante, kan Herlam temannya Richard, dan dia suka datang ke rumah Richard. Setelah kami berpacaran, Herlam sudah aku kenalkan dengan keluarga besar kami ketika ada acara perkawinan sepupuku, dan rasa-rasanya sih mereka baik-baik saja.”

Ibu tersenyum, meyakinkan Natalie kalau tidak ada yang salah dengan jawabannya.
Kemudian Ibu menengok ke arahku, “Kamu dengar Herlam? Teman-teman dan keluarga Natalie tidak ada masalah denganmu bukan? Sudah dua dari empat ketakutanmu yang tadi kamu katakan terjawab.”

Sialan. Aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini sekarang.

Natalie, duduk kebingungan, lalu bertanya, “Sebenarnya ada apa nih Tante?”

“Nanti kamu akan tahu, sekarang kamu jawab pertanyaan Tante satu lagi, tidak apa-apa kan Nat?”

Apa yang bisa dikatakan Natalie selain, “Tidak apa-apa Tante….”

“Kamu mau menikah dengan Herlambang Putraperwira anakku satu-satunya ini?”

Pertanyaan itu terdengar seperti bunyi meriam yang meledak di kupingku, refleks aku langsung berkata, “BU!”

Dan Ibu hanya memandangku tajam untuk membuat mulutku terdiam.
Lalu dia menengok ke arah Natalie yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menunduk dengan muka yang merah padam, persis ketika papanya menanyakan hal yang sama padanya beberapa minggu yang lalu.

Natalie diam seribu bahasa.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
Sampai Ibu bertanya lagi, “Nat? Bagaimana?”

Natalie hanya mengangguk pelan dengan muka merah padam sambil berkata lirih, “Aku mau Tante.”

Wajah Ibu terlihat bersinar terang. Senyumnya amat sangat lebar.
Lalu dia berkata, “Sudah tiga dari empat ketakutanmu yang terjawab. Yang terakhir, tentang Papa-nya Natalie. Ibu selama seminggu ini sudah berkali-kali saling menelepon. Kami bahkan sudah pernah bertemu untuk makan siang. Pendeknya, Ibu setuju dengan Natalie, dan Papa-nya Natalie setuju denganmu. Empat ketakutanmu sudah terjawab. Sekarang, apalagi?”

Natalie tertunduk diam. Mukanya merah. Dia kehilangan kata-kata sekarang.
Aku? Kalau aku bisa kabur dari rumah Ibu, pasti aku sudah melarikan diri dari sekarang.
Sekarang urusan perkawinanku sudah tidak di tanganku!
Luar biasa gila!

Konspirasi besar-besaran rupanya! Konspirasi antar-orang tua! Bagaimana bisa aku terjebak di sini?!

Ibuku belum puas rupanya, dia masih bertanya lagi, “Sekarang giliran kamu Lam. Semua ketakutan kamu sudah terjawab. Natalie mau kok menikahi bocah macam kamu. Ibu dan Papanya Natalie sudah sama-sama setuju. Teman baikmu adalah sepupu dari Natalie, dan teman-temannya Natalie juga temanmu. Keluarga besar kita suka dengan Natalie., Keluarga besar Natalie, suka denganmu. Sekarang giliran kamu yang menjawab pertanyaan Ibu, kamu mau tidak menikah dengan Natalie?”

Sekarang giliran aku yang merah padam.
Malu, marah, kesal, semua bercampur menjadi satu.
Hak apa mereka melakukan ini padaku?
Aku tahu Ibu adalah orang yang melahirkanku.
Tapi bukan berarti dia berhak mencampuri urusanku.

Tapi segala perasaanku padam begitu saja begitu aku sadar Natalie memandangiku.
Wajahnya penuh harap, matanya penuh cinta, bibirnya bergetar, ada sesuatu yang perlahan menggenang di matanya.
Pelan Natalie berkata, “Semuanya terserah Herlam Tante. Kalau dia belum siap, aku akan menunggunya sampai dia benar-benar siap menikah. Jangan dipaksa Tante. Biarkan Herlam yang memutuskan, yang penting, Herlam tahu kalau aku sudah siap,”

Kata demi kata diucapkannya sambil memandang ke arahku.
Natalie berbicara kepada Ibu, tapi setiap kata yang diucapkannya sebenarnya diarahkan kepadaku.

Ibu, tidak berkata apa-apa, dia hanya bangkit, lalu memeluk Natalie, kemudian sambil mengelus lembut rambut panjang Natalie, Ibu berkata, “Mulai sekarang, jangan panggil Tante. Panggil aku Ibu ya Nat.”

Lalu mereka berdua berpelukan.

Aku?

Di kepalaku cuma terbayang tenggat yang semakin mendekat.

Oleh: Ismet

Leave a comment