TENTANG KESEMPURNAAN

Ada yang percaya kesempurnaan bisa terjadi di dunia?

Kabarnya, apapun yang ada di dunia ini tidak akan pernah ada yang sempurna.
Bahwa selalu ada kompromi yang harus kita lakukan. Berusaha menutup mata atas cacat kecil yang ada di depan mata.

Katanya juga, sempurna hanya milik Yang Kuasa.
Kita? Jatah kita hanyalah yang hampir sempurna.
Sembilan kalau menjadi angka, karena sepuluh sudah jadi yang paling tinggi dan paling sempurna.

Karenanya, lahirlah ujar-ujar yang mengatakan kalau tidak ada gading yang tak retak.
Ada juga ujar-ujar yang lain, yang mengatakan kalau tidak ada manusia yang sempurna.
Makanya aku kadang-kadang heran melihat orang yang perfeksionis, orang-orang yang mengejar kesempurnaan dalam pekerjaan atau hidupnya.
Perfeksionis di dunia adalah orang-orang yang mengejar sesuatu yang sebenarnya tiada.
Bagaimana bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna di dunia yang sudah ditakdirkan tidak sempurna.

Eits, jangan sangka aku malas berusaha.
Terutama dalam bekerja, aku akan melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan, dengan kesadaran bahwa pasti ada hal-hal yang tidak aku perkirakan akan terjadi.
Bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan segalanya dengan sempurna, karena itu aku selalu bersiap-siap kalau terjadi seasuatu yang tidak aku kira.

Dan aku tidak membentur-benturkan kepala ke tembok jikalau ada yang salah dengan yang aku lakukan. Tidak seperti para perfeksionis kelas berat yang aku kenal.
Karena kesadaraan itulah aku selalu curiga ketika ada sesuatu yang berjalan terlalu lancar. Terlalu sempurna untuk bisa terjadi pada manusia.

Seperti hubunganku dengan Natalie, misalnya.
Segalanya berjalan terlalu sempurna.

Papa-nya Natalie menyukaiku. Kita bisa ngobrol berjam-jam, berbicara mulai dari sepakbola sampai ke masalah-masalah ekonomi paling mutakhir.
Ibuku juga sangat menyukai Natalie. Mereka bisa ngobrol berjam-jam, berbicara mulai dari mode terkini sampai ke masalah-masalah perempuan dan feminisme.
Natalie dan aku rasa-rasanya juga amat nyaman untuk ngobrol berjam-jam, berbicara mulai dari fantasi seksual sampai ke masalah trend dalam marketing.

Pendeknya, semua berjalan begitu lancar.
Terlalu lancar. Terlalu sempurna.
Begitu sempurna sampai aku jadi curiga dan khawatir sesuatu akan terjadi.
Sesuatu yang membuat segala yang terasa sempurna ini jadi retak.
Seperti gading yang indah tapi selalu memiliki retak.

Pikiran-pikiran itu membuat aku semakin was-was akhir-akhir ini. Semakin lama hubunganku dengan Natalie berjalan, semakin kekhawatiranku menjadi-jadi.

“Hahahaha… itulah kamu sayang, selalu khawatir dengan hal yang belum terjadi,” begitu kata Natalie ketika aku bercerita tentang kekhawatiranku, di satu malam minggu di apartemenku, sambil kami sibuk memasak spaghetti bersama.

“Loh? Justru kalau belum terjadi kan aku harus khawatir! Kalau sudah terjadi baru aku tidak khawatir, karena sudah kelihatan di depan mata dan bisa dicari solusinya,” jawabku membela diri sambil menuangkan saus tomat ke spaghetti yang sudah masak.

Jawabanku malah mengundang tawa nyaring dari Natalie, “Herlam sayangku, bagaimana kalau kita nikmati saja semua ini. Bukannya kamu bilang kalau sudah terjadi bisa dicari solusinya? Iya kan? Jadi jangan khawatir lah, kalau ada apa-apa, kan kita tinggal cari solusinya…” kata Natalie sambil mendekatiku.

Aku tidak menjawab. Selain karena ada kebenaran dalam jawaban Natalie, juga karena aku sibuk mengunyah spaghetti buatannya yang disuapkan kepadaku.

Tapi begitu aku mengantarkan Natalie pulang, rasa khawatir kembali menghantui.
Was-was menunggu apa yang akan muncul di kelokan berikut dalam kisah hidupku.
Akibatnya, semalaman aku terjaga, sibuk menebak-nebak apa yang akan terjadi berikutnya.

Mungkin Adine muncul kembali?
Atau mungkin tiba-tiba Papa-nya Natalie membenciku?
Atau mungkin Bolon mengamuk?
Atau mungkin Ibu membenci Natalie?
Atau mungkin Natalie bertemu lelaki lain kemudian jatuh cinta padanya, lalu memutuskan hubungan denganku untuk menikahi lelaki lain itu lalu pergi bersamanya ke Prancis dan tinggal di Paris lalu mereka beranak pinak dan hidup bahagia selamanya di sana.

Rasanya Natalie benar, aku terlalu khawatir. Aku sampai tidak bisa tidur semalaman.
Bahkan sepanjang hari Minggu yang seharusnya aku nikmati dengan beristirahat, mataku masih terbuka lebar tanpa sempat dipejamkan sedikit pun.
Padahal aku berjanji mengajak Natalie dan Papa-nya makan malam di sebuah restoran makanan laut di daerah Senayan.

Hasilnya, aku menguap sepanjang perjalanan dari Menteng ke Senayan.
Natalie pun sempat bertanya apa yang terjadi, dan aku hanya menjawab pendek, “Gak bisa tidur… mikirin kamu.”

Dan Natalie menghadiahkan senyum yang manis sekali.
Lalu kami makan malam bersama. Kepiting Alaska menjadi hidangannya.

Sambil tangan sibuk mengupas kulit tebal kepiting, kami bicara.
Tentang golf dan dunia usaha.
Tentang Indonesia dan dunia.
Tentang hidup dan segala sisinya.
Lalu tentang masa sekarang dan masa depan.

“Lam, Oom kemarin ketemu Richard, kami ngobrol-ngobrol panjang sekali,” kata Papa-nya Natalie sambil sibuk memecah capit kepiting.

“Oh ya Oom? Saya baru minggu kemarin teleponan dengan Richard,” aku ingat, Bolon adalah nama panggilan Richard Tampubolon di antara teman-temannya. Richard atau Ichad, adalah nama panggilan dia di antara keluarga.

“Iya, si Richard cerita kalau dulu, waktu Natalie menyelesaikan SD-nya di sini, kamu suka main ke rumahnya…” di antara suapan daging kepiting dan mantau, Papanya Natalie masih bisa berbicara.

“Papa ah… pasti Richard ngomong yang enggak-enggak deh!” Natalie cemberut. Manis sekali.

“Iya Oom, dulu kadang saya main ke rumah Richard, tapi gak sering, jadi bahkan saya tidak ingat siapa Natalie sampai bertemu Richard di rumah Oom…” selesai sudah makanku.
Mata yang mengantuk sungguh sangat tidak mendukung untuk makan kepiting.

“Hahaha, Richard juga bilang begitu. Dia juga bilang dari dulu, setiap kamu datang, Natalie selalu mengintip dari lantai atas! Naga-naganya, dia sudah suka sama kamu dari dulu… hahahahaha!!!” Papa-nya Natalie terbahak-bahak sendiri.

Aku hanya tersenyum sambil melirik Natalie yang mukanya berubah merah padam sambil mengomel, “Pap! Udah dong! Awas si Richard! Aku hajar dia nanti!!!”

“Hahahaha… ternyata benar?” kata Papa-nya Natalie.
Aku pun jadi penasaran, “Nat?”

“Aku gak mau jawab. Pokoknya gak mau jawab!” lucu sekali, Natalie merajuk seperti anak kecil. Pipinya merah. Cemberut. Cantik.

“Hahahahahahahahahaha,” aku dan Papanya tertawa terbahak-bahak.

“Punya pacar bukannya ngebela, malah ikut ketawa!” kata Natalie sebal.

“Ngomong-ngomong tentang pacaran, kayaknya kalian cocok sekali ya? Emm… pasangan sempurna” tiba-tiba Papa-nya Natalie bertanya.

“Papa ah! Udah dong…” Natalie benar-benar sebal sekarang.

“Eh… gitu ya Oom?” jawabku gagap.

“Iya, Oom lihat sih begitu. Kalian gak mau cepat-cepat meresmikan saja? Mumpung kelihatannya baik sekali hubungan kalian?” tidak ada nada bercanda dalam setiap kata Papa-nya Natalie. Mukanya pun sangat serius.

“PAPA!” jerit Natalie tertahan. Lalu dia menunduk dengan wajah merah padam.

“M… mak… maksudnya Oom?” aku rasa wajahku sudah berubah-ubah warna berkali-kali dalam beberapa detik.

“Loh? Belum kalian pikirkan ya? Menikah maksud Oom. Bukan apa-apa, Oom sudah tua, Mama-nya Natalie sudah tiada, dan Oom lihat hubungan kalian begitu sempurna. Kenapa tidak diresmikan sekalian? Oom tahu kalian baru sebentar berpacaran, tapi kan kalau cocok, kenapa tidak? Menikah saja, tidak ada masalah kan? Bagaimana?”

“Eh… se… serius?”

“Kalau Natalie mau, ya serius. Kalau Natalie tidak mau ya jangan. Tapi tampaknya Natalie juga mau deh, kan dari SD sudah ngeliatin kamu… Hahahahaha!”

Natalie sudah tidak bisa berkata. Hanya diam dengan muka merah padam.
Aku juga sudah kehabisan kata.

“Jadi Nat?” Papa-nya meneruskan, belum puas tampaknya dia, “Kamu mau?”

Ketika aku melihat Natalie menganggukkan kepalanya perlahan-lahan, aku tahu kesempurnaan hubungan ini selesai sudah.

Oleh: Ismet

Leave a comment